Penulis : KH Abdullah Gymnastiar
Berpikirlah terus, bagaimana caranya agar amal kita diterima Allah.
Tidak usah mengharap balas jasa, pujian, atau keuntungan sesaat.
"Ketahuilah, hari ini adalah hari Allah. Tidak boleh ada kesombongan
dan sikap melampaui batas. Ikhlaskan niat kalian untuk berjihad dan
carilah ridha Allah dengan amal kalian". Inilah yang disampaikan
Khalid bin Walid di hadapan komandan pasukannya menjelang Perang
Yarmuk.
Tak lama kemudian, datanglah utusan Khalifah membawa sepucuk surat
untuk Khalid bin Walid. "Pedang Allah" ini segera membacanya. Di
dalamnya tercantum beberapa hal, termasuk berita wafatnya Khalifah
Abu Bakar dan dan beralihnya kendali kekhalifahan ke tangan Umar bin
Khathab. Yang terpenting, Khalifah Umar mencopot jabatan panglima
perang yang disandang Khalid bin Walid, dan mengangkat Abu Ubaidah
bin Jarrah sebagai penggantinya.
Bagaimana sikap Khalid? Ia menerima pemberhentian tersebut dengan
sikap ksatria. Tidak sedikit pun kekecewaan dan emosi terpancar dari
wajahnya. "Aku tidak berperang untuk Umar. Aku berperang untuk
Tuhannya Umar," demikian ungkapnya.
Ia segera mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah untuk menyerahkan
kendali kepemimpinan. Setelah itu ia berperang habis-habisan di
bawah komando mantan anak buahnya tersebut. Padahal, masa itu adalah
masa keemasan Khalid bin Walid.
Saudaraku, betapa bahagianya Khalid bin Walid. Lihatlah, betapa
mudahnya ia menyerahkan jabatan kepada anak buahnya, lalu berperang
habis-habisan sebagai seorang prajurit. Orientasi perjuangannya
adalah Allah, bukan jabatan, ketenaran dan kepuasan nafsunya.
Kita harus mulai mengevaluasi diri. Boleh jadi kita sibuk beramal,
namun tidak sibuk menata niat. Sehingga amal-amal yang kita lakukan
tidak ada nilainya di hadapan Allah. Seorang ibu mengandung selama
sembilan bulan, ia tidak mendapatkan apa-apa selain rasa sakit, bila
kehamilannya itu disikapi dengan keluhan. Demikian pula seorang
bapak yang siang malam bekerja, ia tidak mendapatkan apa-apa selain
rasa lelah, bila tidak karena Allah. Karena itu, jangan hanya sibuk
beramal, tapi sibukkan pula dengan meluruskan niat.
Bagaimana agar kita bisa ikhlas? Tekniknya sederhana. Pusatkan
pikiran dan amal hanya untuk Allah. Berpikirlah, bagaimana agar amal
kita diterima Allah. Titik. Tidak usah mengharap balas jasa, pujian,
atau keuntungan sesaat. Lakukan yang terbaik, sampaikan dengan cara
terbaik, berikan yang terbaik, dan dengan hati terbaik.
Saudaraku, orang ikhlas itu pasti bahagia dalam hidupnya. Sebab,
Allah SWT akan menganugerahkan enam ciri (keutamaan) dalam hidupnya.
[1] Jarang kecewa terhadap dunia. Orang ikhlas tidak mengharapkan
apapun dan dari siapapun. kenikmatan baginya bukan dari mendapatkan,
tapi dari mempersembahkan. Sebaliknya, orang yang tidak ikhlas akan
banyak kecewa dalam hidup, karena banyak berharap dari makhluk.
[2] Tidak pusing dengan penghargaan. Baginya orang ikhlas dipuji
atau dicaci sama saja, asalkan apa yang ia lakukan benar caranya dan
lurus niatnya.
[3] Tidak membeda-bedakan amal besar dan amal kecil. Orang ikhlas
tidak sibuk melihat besar kecilnya amal. Ia hanya sibuk dengan apa
yang disukai Allah. Tidak ada yang kecil di hadapan Allah. Yang
kecil hanyalah amal yang tidak ikhlas.
[4] Nikmat berbuat amal. Kebahagiaannya bukan dari mendapatkan
pujian, namun dari optimalnya amal. Karena itu, orang ikhlas akan
tangguh dan istikamah dalam ibadah.
[5] Tidak menonjolkan "bendera". Orang ikhlas tidak berjuang untuk
satu kelompok tertentu. Ia berjuang hanya untuk Islam.
Kelompok/bendera hanyalah sarana/alat untuk mencapai tujuan.
[6] Tidak ditipu setan. Allah SWT mengabadikan ucapan Iblis dalam
Alquran. "_pasti aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas" (QS Al Hijr [15]: 39-40).
Wallaahu a'lam.