Madinah Di Awal Hijrah
Kehidupan generasi pertama kaum muslimin penuh dengan ujian, penderitaan, dan fitnah. Di Mekah mereka mendapat tekanan dan menanggung penganiayaan dari kaum Quraisy. Karena itulah, Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah.
Meski sudah hijrah ke Madinah, ancaman kaum Quraisy tidak surut. Bahkan, meningkat. Maklum, perlindungan kaum Anshar terhadap kaum muslimin Muhajirin dari Mekah, dianggap kaum Quraisy sebagai ancaman yang membahayakan eksistensi dan martabat mereka. Karena itu, Rasulullah saw. dan para sahabat sadar betul bahwa kota Madinah bisa diserang setiap saat oleh kaum Quraisy.
Kesadaran itu membuat seluruh kota Madinah siaga satu. Mereka tidak pernah tidur kecuali dengan memeluk senjata. Kondisi ini digambarkan oleh Aisyah r.a., “Sesampai di Madinah, Rasulullah saw. tidak pernah tidur semalaman. Lalu beliau bersabda, ‘Seandainya ada salah seorang sahabatku yang melindungiku malam ini.’”
Aisyah melanjutkan, “Ketika kami semua juga susah tidur, tiba-tiba kami mendengar suara denting pedang. Maka Rasulullah berkata, ‘Siapa itu?’ Lalu terdengar jawaban, ‘Saad bin Abi Waqqash.’ Kemudian Rasulullah saw. bertanya, ‘Apa yang membuatmu datang ke sini?’ Saad menjawab, ‘Diriku sangat khawatir akan keselamatan Rasulullah sehingga aku datang untuk menjaganya.’ Lantas Rasulullah memanggil Saad, dan kemudian beliau baru tidur.” (Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, juz 10, hal. 159-160. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, juz 3, hal. 301).
Hari-hari pun terus berlalu. Perintah Allah swt. untuk berperang melawan kekafiran secara frontal pun turun. Para sahabat menjalankan perintah itu, namun masih diliputi rasa khawatir dan was-was. Kemana pun pergi, mereka membawa senjata, siang dan malam. Sampai-sampai seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, akan selamanyakah kita hidup dalam ketakutan seperti ini? Tidakkah akan datang suatu hari dimana kita dapat merasakan keamanan dan meletakkan senjata?”
Rasulullah saw. menjawab, “Kalian tidak akan bersabar terlalu lama hingga seseorang di antara kalian memimpin sebuah masyarakat besar dengan penuh kasih sayang dan tidak bertindak sewenang-wenang. Sebab, Allah saw. telah berfirman, ‘Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sunguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa’.”
Sabar. Tabah. Itu dua hal yang ditekankah Rasulullah saw. kepada para sahabat. Apalagi musuh bukan hanya datang dari luar. Ketika sampai di Madinah, Rasulullah saw. mendapati penduduk yang heterogen: ada muslimin, musyrikin penyembah berhala, dan ada juga kaum Yahudi.
Ancaman juga datang dari kalangan Yahudi. Salah satunya dari Syas bin Qais. Tetua Yahudi ini sangat tidak suka dengan kerukunan kaum Aus dan Khazraj di suatu majelis yang ia saksikan. Sebelum Islam datang, kedua kaum ini bermusuhan. Dan, kaum Yahudi selalu mendapat keuntungan dari peperangan mereka. Karena itu, Syas meminta seorang pemuda Yahudi untuk memprovokasi. Katanya, “Temuilah orang-orang itu dan duduklah bersama mereka. Lalu ungkit kembali Perang Bu’ats dan peperangan lain yang pernah terjadi di antara mereka. Lantunkan juga syair-syair yang pernah mereka lontarkan untuk saling mengejek sesama mereka!”
Provokasi pemuda Yahudi itu berhasil. Para sahabat yang berasal dari kalangan Aus dan khazraj saling berhadapan. Mereka melompat ke atas kuda-kuda mereka dengan penuh amarah meneriakkan kata, “Perang!”
Rasulullah saw. dan kalangan Muhajirin bergegas menemui mereka. “Wahai kaum muslimin!” panggil Rasulullah saw. kepada mereka. “Ingatlah Allah! Berdzikirlah kalian kepada Allah! Adakah kalian ingin kembali menjadi jahiliyah sedangkan aku sudah berada di tengah-tengah kalian, Allah telah memberi petunjuk kepada kalian hingga memeluk Islam, Allah juga sudah memuliakan kalian, memutuskan kejahiliyahan dari kalian, menyelamatkan kalian dari kekufuran dan menyatukan hati kalian dengan Islam?”
Orang-orang Aus dan Khazraj tersentak. Mereka sadar telah termakan provokasi. Mereka menangis. Menyesal. Saling berpelukan dan saling bermaafan.
Rongrongan sekali lagi datang. Kali ini dari kaum musyrikin Madinah. Sebelum Perang Badar, Rasulullah saw. bermaksud mengunjungi Sa’ad bin ‘Ubadah. Nabi saw. yang dikawal Usamah bin Zaid, menunggangi keledai dengan kecepatan cukup tinggi meliwati sebuah perkumpulan yang dihadiri orang-orang musyrikin, Yahudi, para penyembah berhala, dan beberapa orang kaum muslimin.
Abdullah bin Ubay bin Syahlul yang belum masuk Islam ketika itu, menutup hidungnya dengan sorban karena debu yang mengebul. Ia berkata Rasulullah saw., “Hai, kalian jangan menghamburkan debu-debu itu kepada kami.”
Rasulullah saw. pun berhenti dan menghampiri mereka. Setelah memberi salam, Rasulullah saw. mengajak orang-orang yang hadir di perkumpulan itu untuk menyembah Allah. Rasulullah saw. membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Melihat itu Abullah bin Ubay tidak senang. Ia berkata, “Hai manusia, tidak ada kata-kata sebaik yang engkau ucapkan. Tapi, jika ucapanmu itu memang benar, janganlah kau sakiti kami dengan kata-kata itu di dalam majelis kami ini. Naiklah ke kendaraanmu lagi dan tinggalkan kami. Dan kepada siapa saja yang datang kepadamu, ceritakanlah kejadian ini kepadanya.”
Abdullah Rawahah yang juga ada di perkumpulan itu menyela, “Tidak, ya Rasulullah. Engkau boleh memenuhi majelis kami ini dengan seruan-seruanmu itu. Sebab, sesungguhnya kami sangat menyukai ajakan-ajakanmu itu.”
Akibatnya, perkumpulan itu ribut. Terjadi percekcokan antara kaum muslimin berhadapan dengan kaum musyrikin yang didukung kaum Yahudi. Bahkan, hampir terjadi baku hantam. Namun, Rasulullah saw. berhasil menenangkan mereka.
Begitulah suasana Madinah di awal-awal hijrah. Selalu saja ada desas-desus yang ditiupkan kalangan yang memusuhi Islam. Rasulullah saw. mendidik para sahabat untuk senantiasa berjiwa besar, pemaaf, dan lapang dada serta berupaya mempersempit kesempatan musuh yang secara diam-diam berkonspirasi untuk merongrong dan mengikis kekuatan umat Islam yang sedang tumbuh. Kaum muslimin sadar betul bahwa mereka harus menggalang kekuatan untuk menghadapi serangan yang setiap saat akan datang dari kekuatan besar di luar Madinah: pasukan kaum Quraisy. Itulah salah satu alasan strategisnya Perjanjian Madinah ditandatangani Rasulullah saw.: untuk meredam ancaman dari dalam kota Madinah yang berasal dari kalangan Yahudi dan kaum musyrikin.